Selasa, 10 Mei 2011

Puisi 2. salam sayang untuk sang ibu


Saat kami kecil, suci nafas kami, suci darah kami, suci hati kami, dan suci pemikiran kami
Kami hanya bisa menangis, dan tertawa saat ingin tertawa
Tak ada kata, tak ada amarah,..
Tp lg lg hanya bisa menangis dan menangis..
Namun engkau selalu mengerti apa yang kami mau

Ibuuu…
Kau selalu paham apa yang kami ingini saat kami kecil
Saat kami blum bisa berkata, saat kami blum bisa meminta
Tp dengan nalurimu, kau tau apa yang kami mau

Namun sekarang diri kami sudah dewasa,
Tp masih saja kami meminta minta seperti saat kami kecil
Namun sekarang beda.. kami sudah bisa meminta dan memaksa..
Namun dirimu tetap seperti dulu, tetap memberikan apa yang kami ingini

Kapan kami bisa membalas semua pengorbanan mu IBU,
Terutama saat kau bertaruh nyawa untuk melahirkan kami..

Sampai saat ini kau tak pernah banyak minta kepada kami
Beda saat kami slalu minta kepadamu
Namun seringkali kami berkata ‘AHH’
Padahal engkau tak pernah berkata seperti itu saat kami minta sesuatu
Maafkan kami ibu, engkaulah yang ke 2 mengerti kami setelah Allah
Makasih ibu untuk semuanya.. kami sayang IBU

Salam anak untuk ibunya ♥♥♥

Ryan Ramanda P

cerpen 1. jalani hidup dgn seimbang


jadi ceritanya konon, ada seorang kaisar yang mengatakan pada salah seorang penunggang kudanya, jika dia bisa naik kuda dan menjelajahi daerah seluas apapun, Kaisar akan memberikan kepadanya daerah seluas yang bisa dijelajahinya. Kontan si penunggang kuda itu melompat ke punggung kudanya dan melesat secepat mungkin untuk menjelajahi dataran seluas mungkin.
 Dia melaju dan terus melaju, melecuti kudanya untuk lari secepat mungkin. Ketika lapar dan letih, dia tidak berhenti karena dia ingin menguasai dataran seluas mungkin. Akhirnya, sampailah dia pada suatu tempat di mana cukup luas daerah telah berhasil dijelajahinya, dan dia menjadi begitu kelelahan dan hampir mati. Lalu dia berkata terhadap dirinya sendiri, "Mengapa aku memaksa diri begitu keras untuk menguasai daerah yang begitu luas? Sekarang aku sudah sekarat, dan aku hanya butuh tempat yang begitu kecil untuk menguburkan diriku sendiri."
 Cerita ini mirip dengan perjalanan hidup kita. Kita memaksa diri begitu keras tiap hari untuk mencari uang, kuasa, dan keyakinan diri.
 Kita mengabaikan kesehatan kita, waktu kita bersama keluarga, dan kesempatan mengagumi keindahan sekitar, hal-hal yang ingin kita lakukan, dan juga kehidupan rohani dan pelayanan kita.
 Suatu hari ketika kita menoleh ke belakang, kita akan melihat betapa kita tidak membutuhkan sebanyak itu, tapi kita tak mampu memutar mundur waktu atas semua yang tidak sempat kita lakukan.
 Maka, sempatkanlah untuk memikirkan barang sejenak apa yang akan kita lakukan apabila kita mati besok.
 Atau apa yang akan kita lakukan jika kita meninggal dalam waktu seminggu? Sebulan? Setahun? Sepuluh tahun? 40 tahun lagi? Bukankah suatu hal yang menyenangkan sekaligus menyeramkan mengetahui kapan kita akan mati? Cuma yaitu--kita tidak tahu, kita semua tidak ada yang tahu...

 Jalanilah hidup yang seimbang - Belajarlah untuk menghormati dan menikmati kehidupan, dan yang terutama:
 Mengetahui apa yang TERPENTING dalam hidup ini. :D








Puisi 1.


Tahun lalu dadaku tertempel lambang sd,  osis smp dan sma ku
Berasa adanya kesamaan antara diriku dan teman2ku
Namun sekarang,..
Tak lagi kujumpai pemandangan seperti itu
Yang ada hanya pemandangan baju2 bagus dan bermerek

Bagaimana tahun tahun yang akan datang ?
Mungkin akan kulihat pemandangan yang berbeda lagi
Pemandang yang lebih komersial
Dimana smua memakai pakaian yang rapih, kemeja, berdasi.
Dan mungkin demikian pula diriku

Dan bagaiamana tahun tahun yg akan datag lagi
Mugkin kulihat pemandangan yang berbeda kembali
Yakni semua teman temanku memakai pakain yang sama dengan ku
Kafan..
Yaaa… itulah pakaian yang nanti yang pasti kita pakai
Tak ada perbedaan,.
Tak ada kesenjangan social,,

Jadi ingatlah !!
Kesombongan tak ada gunanya,,
Toh nantinya kita akan sama-sama memakai kafan
Dan hanya iman kita yang membedakannya !!


                                                                                                                                                                                Ryan ramanda

Artikel IBD 3. Motif Pahatan Suku Dayak


Suku Dayak memiliki pola-pola atau motif-motif yang unik dalam setiap pahatan mereka. Umumnya mereka mengambil pola dari bentuk-bentuk alam seperti tumbuhan, binatang serta bentuk-bentuk yang mereka percaya sebagai roh dari dewa-dewa, misalnya Naang Brang, Pen Lih, Deing Wung Loh, dan sebagainya.Karena seringnya kata pamanda diucapkan dalam setiappementasan, maka istilah tersebut menjadi julukan bagi seni pertunjukan itu sendiri.

Seni drama tradisional Mamanda merupakan salah satu seni pertunjukan yang populer di Kutai di masa lalu. Kesenian ini selalu dipertunjukkan pada setiap perayaan nasional, pada acara perkawinan, khitanan dan sebagainya. Mamanda merupakan salah satu  jenis hiburan yang disenangi masyarakat. Mamanda dapat disejajarkan dengan seni Kethoprak dan Ludruk di Jawa. Jika jalan cerita yang disajikan dalam Mamanda adalah tentang sebuah kerajaan, maka pementasan Mamanda tersebut mirip dengan Kethoprak. Namun jika yang dilakonkan adalah cerita rakyat biasa, maka pementasan Mamanda tersebut mirip dengan Ludruk. Dalam pementasannya, Mamanda selalu menggunakan dua jenis alat alat musik yakni Gendang dan Biola.Kesenian ini sudah jarang dipentaskan secara terbuka. Namun pada Festival Erau di kota Tenggarong, kesenian Mamanda sering dipertunjukkan secara terbuka untuk mengisi salah satu mata acara hiburan rakyat. Sedangkan melalui media televisi lokal, kesenian Mamanda ditampilkan seminggu sekali.
Rumah tradisional suku Dayak dikenal dengan sebutan Lamin. Bentuk rumah adat Lamin dari tiap suku Dayak umumnya tidak jauh berbeda. Lamin biasanya didirikan menghadap ke arah sungai. Dengan bentuk dasar bangunan berupa empat persegi panjang. Panjang Lamin ada yang mencapai 200 meter dengan lebar antara 20 hingga 25 meter. Di halaman sekitar Lamin terdapat patung-patung kayu berukuran besar yang merupakan patung persembahan nenek moyang (blang).

Lamin berbentuk rumah panggung (memiliki kolong) dengan menggunakan atap bentuk pelana. Tinggi kolong ada yang mencapai 4 meter. Untuk naik ke atas Lamin, digunakan tangga yang terbuat dari batang pohon yang ditakik-takik membentuk undakan dan tangga ini bisa dipindah-pindah atau dinaik-turunkan. Kesemua ini adalah sebagai upaya untuk mengantisipasi ancaman serangan musuh ataupun binatang buas. Pada awalnya, Lamin dihuni oleh banyak keluarga yang mendiami bilik-bilik didalam Lamin, namun kebiasaan itu sudah semakin memudar di masa sekarang. Bagian depan Lamin merupakan sebuah serambi panjang yang berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan upacara perkawinan, melahirkan, kematian, pesta panen, dll. Di belakang serambi inilah terdapat deretan bilik-bilik besar. Setiap kamar dihuni oleh 5 kepala keluarga. Lamin kediaman bangsawan dan kepala adat biasanya penuh dengan hiasan-hiasan atau ukiran-ukiran yang indah mulai dari tiang, dinding hingga puncak atap.

Ornamen pada puncak atap ada yang mencuat hingga 3 atau 4 meter. Dinding Lamin milik bangsawan atau kepala adat terbuat dari papan, sedangkan Lamin milik masyarakat biasa hanya terbuat dari kulit kayu Itu tadi sebagian dari penjelasan yang saya ketahui tentang suku dayak, salah satu suku di perbatasan Indonesia, yang masih kuat mempertahankan budayanya.


Artikel IBD 2. Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia



Indonesia merupakan negara Muslim terbesar di seluruh dunia. Muslim di Indonesia juga dikenal dengan sifatnya yang moderat dan toleran. Sejarah awal penyebaran Islam di sejumlah daerah yang sekarang dikenal sebagai Indonesia sangatlah beragam. Penyebaran Islam di tanah Jawa sebagian besar dilakukan oleh walisongo (sembilan wali). Berikut ini adalah informasi singkat mengenai walisongo.

"Walisongo" berarti sembilan orang wali. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.

Maulana Malik Ibrahim adalah yang tertua. Sunan Ampel adalah anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal. Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.

Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.

Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding yang lain. Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai "tabib" bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai "paus dari Timur" hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha

Sumber                                : http://forum.detik.com/showthread.php?t=34001